Contoh Laporan PTK Sederhana Guru SMK Mata Pelajaran PKN Kelas 11
Penelitian Tindakan Kelas

By JUMAKIR, S Pd., MM 30 Jun 2022, 18:28:13 WIB contoh PTK
Contoh Laporan PTK Sederhana Guru SMK Mata Pelajaran PKN Kelas 11

Gambar : dok.pribadi


ABSTRAK

Penelitian ini berjudul:“ Peningkatan Hasil Belajar Materi Budaya demokrasi Melalui Model Pembelajaran Tipe Teams Games Tournaments Siswa Kelas XI.APK.1 SMKN 2 Tamiang Layang”.

            Tujuan Penelitian ini adalah untuk Meningkatkan Hasil Belajar  Materi Budaya demokrasi  Melalui Model Pembelajaran Tipe Teams Games Tournaments Siswa Kelas XI.APK.1 SMKN 2 Tamiang Layang.

            Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah Penelitian Tindakan (action Research) yang terdiri dari 2 (dua) siklus, dan setiap siklus terdiri dari: Perencanaan, Pelaksanaan, Pengamatan, dan refleksi.

            Berdasarkan hasil penelitian tindakan bahwa Model Pembelajaran Tipe Teams Games Tournaments dapat Meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Siswa Kelas XI.APK.1 SMKN 2 Tamiang Layang.

Selanjutnya peneliti merekomendasikan: (1) Bagi Guru yang mendapatan kesulitan yang sama dapat menerapkan Model Pembelajaran Tipe Teams Games Tournaments untuk meningkatkan Hasil Belajar Pendidikan Kewarganegaraan Siswa Kelas XI. (2) Agar mendapatkan hasil yang maksimal maka dihaharapkan guru lebih memahami Model Pembelajaran Teams Games Tournaments.

Kata kunci: Hasil Belajar, Metode, TGT.

BAB I PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang Masalah

Manusia memerlukan pendidikan untuk menggerakkan dan mengembangkan potensi serta kemampuan dasar tersebut kepada pola yang dikendalikan.Pendidikan merupakan salah satu faktor yang fundamental dalam pembangunan, karena kemajuan bangsa erat kaitannya dengan masalah pendidikan. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau bangsa Indonesia begitu besar perhatiannya terhadap masalah pendidikan, bahkan tujuannyapun semakin disempurnakan.Ini sesuai dengan ketentuan yang dimuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Secara garis besar, pendidikan sebagai suatu usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa agar menjadi manusia seutuhnya berjiwa Pancasila. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan Nasional  juga menyatakan sebagai berikut:

“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”

 

Disamping itu, pendidikan juga merupakan suatu sarana yang paling efektif dan efisien dalam meningkatkan sumber daya manusia untuk mencapai suatu dinamika yang diharapkan.

Berdasarkan hasil ulangan harian yang dilakukan di Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, diperoleh informasi bahwa hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa rendah di bawah standar ketuntasan Minimal yaitu dibawah 70.

Faktor-faktor yang menyebabkan keadaan seperti di atas antara lain :

  1. Kemampuan kognitif siswa dalam pemahaman konsep – konsep Pendidikan Kewarganegaraan masih rendah,
  2. Pembelajaran yang berlangsung cenderung masih monoton dan membosankan,
  3. Siswa tidak termotivasi untuk belajar Pendidikan Kewarganegaraan dan menganggap Pendidikan Kewarganegaraan hanya sebagai hafalan saja.

Dengan belajar secara menghapal membuat  konsep – konsep Pendidikan Kewarganegaraan yang telah diterima menjadi mudah dilupakan. Hal ini merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh seorang guru. Guru dituntut lebih kreatif dalam mempersiapkan pembelajaran yang akan dilaksanakan.

Dikembangkan, misal dalam pemilihan model pembelajaran yang akan digunakan dalam pembelajaran sebagai salah satu bentuk strategi pembelajaran. Kesiapan guru dalam memanajemen pembelajaran akan membawa dampak positif bagi siswa diantaranya hasil belajar siswa akan lebih baik dan sesuai dengan indikator yang ingin dicapai.Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan adalah model pembelajaran kooperatif tipe TGT karena siswa dapat terlibat aktif karena memiliki peran dan tanggung jawab masing–masing, sehingga aktivitas siswa selama proses pembelajaran berlangsung meningkat.

Model Pembelajaran TGT tampak seperti model pembelajaran word square, bedanya jawaban soal tidak dituliskan di dalam kotak-kotak jawaban, tetapi jawaban sudah dituliskan, namun dengan susunan yang acak, jadi siswa bertugas mengoreksi (membolak-balik huruf) jawaban tersebut sehingga menjadi jawaban yang tepat/benar. TGT merupakan suatu metode mengajar dengan membagikan lembar soal dan lembar jawaban yang disertai dengan alternatif jawaban yang tersedia. Siswa diharapkan mampu mencari jawaban dan cara penyelesaian dari soal yang ada.

Berdasarkan uraian diatas, maka sebagai peneliti merasa penting melakukan penelitian  terhadap masalah di atas. Oleh karena itu, upaya meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa dilakukan penelitian Tindakan Kelas dengan judul :“Upaya Meningkatkan Hasil Belajar  Materi Budaya Demokrasi Melalui Model Pembelajaran TGT Siwa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang“.

 

    1. Perumusan Masalah

Memperhatikan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permsalahan sebagai berikut : “Bagaimanakah pembelajaran kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan hasil belajar Materi Budaya Demokrasi siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang?”

    1. Tujuan Penelitian

Meningkatkan  hasil belajar Materi Budaya Demokrasi menggunakan pembelajaran kooperatif tipe TGT siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang.

1.4 Manfaat Penelitian

Setelah penelitian selesai diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

  1. Bagi peneliti : penelitian ini dapat mempengaruhi pembelajaran, membantu untuk meningkatkan hasil belajar Pendidikan Kewarganegaraan siswa, memberikan alternative pembelajaran yang aktif, kreatif efektif, dan menyenangkan bagi siswa, serta meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
  2. Bagi siswa : untuk meningkatkan pemahaman konsep Pendidikan Kewarganegaraan dan menerapkannya dalam kehidupannya sehari – hari sehingga pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi lebih sederhana.
  3. Bagi sekolah : penelitian ini dapat menjadi salah satu alternatif model pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

    1. Kajian Teori
      1. Pengertian Hasil Belajar

Menurut Sudjana (2012: 46) pengertian hasil belajar adalah  “kemampuan – kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia melaksanakan pengalaman belajarnya”.Bloom (dalam Sudjana, 2012: 53) membagi tiga ranah hasil belajar yaitu :

  1. Ranah Kognitif

Berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yaitu pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.

  1. Ranah Afektif

Berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yaitu penerimaan, jawaban atau reaksi penilaian, organisasi, dan internalisasi.

  1. Ranah Psikomotorik

Berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemauan bertindak, ada enam aspek, yaitu : gerakan refleks, ketrampilan gerakan dasar, ketrampilan membedakan secara visual, ketrampilan dibidang fisik, ketrampilan komplek dan komunikasi.

Hasil belajar yang dicaPendidikan Kewarganegaraan siswa dipengaruhi oleh dua factor utama yaitu :

  1. Faktor dari dalam diri siswa, meliputi kemampuan yang dimilikinya, 

motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis.

  1. Faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan, terutama kualitas pengajaran.

Hasil belajar yang dicapai menurut Nana Sudjana,  melalui proses belajar mengajar yang optimal ditunjukan dengan ciri – ciri sebagai berikut.

  1. Kepuasan dan kebanggaan yang dapat menumbuhkan motivasi belajar

      intrinsic pada diri siswa. Siswa tidak mengeluh dengan prestasi rendah

      dan ia akan berjuang lebih keras untuk memperbaikinya atau

      setidaknya mempertahankanya apa yang telah dicapai.

  1. Menambah keyakinan dan kemampuan dirinya, artinya ia tahu kemampuan dirinya dan percaya bahwa ia mempunyai potensi yang tidak kalah dari orang lain apabila ia berusaha sebagaimana mestinya.
  2. Hasil belajar yang dicapai bermakna bagi dirinya, seperti akan tahan lama diingat, membentuk perilaku, bermanfaat untuk mempelajari aspek lain, kemauan dan kemampuan untuk belajar sendiri dan mengembangkan kreativitasnya.
  3. Hasil belajar yang diperoleh siswa secara menyeluruh (komprehensif), yakni mencakup ranah kognitif, pengetahuan atau wawasan, ranah afektif (sikap) dan ranah psikomotorik, keterampilan atau prilaku.
  4. Kemampuan siswa untuk mengontrol atau menilai dan mengendalikan diri terutama dalam menilai hasil yang dicaPendidikan Kewarganegaraannya maupun menilai dan mengendalikan proses dan usaha belajarnya.

Oleh  karena itu,  guru  diharapkan  dapat mencapai hasil belajar,  

Setelah melaksanakan proses belajar mengajar yang optimal sesuai 

dengan ciri-ciri  tersebut di atas.

 

      1. Pembelajaran Kooperatif 

1. Pembelajaran Kooperatif

Menurut Davidson dan Worsham, pembelajaraan kooperatif adalah “model pembelajaraan yang sistematis dengan mengelompokan siswa dengan tujuan menciptakan pendekatan pembelajaraan yang efektif dan mengintegrasikan keterampilan sosial yang bermuatan akademis”  sedangkan menurut Johns  pembelajaran kooperatif adalah “kegiatan belajar mengajar secara kelompok – kelompok kecil, siswa belajar dan bekerja sama untuk sampai kepada pengalaman belajar yang optimal,baik pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok.”

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pembelajar Kooperatif adalah suatu pembelajaran dengan cara mengelompokkan siswa untuk bekerja sama untuk mencapai pengalaman belajar yang optimal, baik pengalaman individu maupun pengalaman kelompok.

            2.Ciri – ciri dan Unsur – unsur dasar pembelajaran kooperatif

            a.  Ciri – ciri Pembelajaran Kooperatif

Menurut Ibrahim, pembelajaran kooperatif dicirikanoleh struktur tugas, tujuan dan penghargaan kooperatif. Siswa yang bekerja dalam situasi pembelajaraan kooperatif didorong dan atau dikehendaki untuk bekerja sama pada suatu tugas bersama, dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugasnya. Dalam penerapan pembelajaraan kooperatif, dua atau lebih individu saling tergantung satu sma lain untuk mencapai satu penghargaan bersama. Mereka akan berbagi penghargaan tersebut seandainya mereka berhasil dalam kelompok.

Ciri–ciri pembelajaraan yang mengguanakan model kooperatif adalah

  1. Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya.
  2. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi,sedang, dan rendah
  3. Anggota kelompok hendaknya berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin berbeda – beda.
  4. Penghargaan lebih berorientasi kepada kelompok ketimbang individu.7

 

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model Pembelajaran Kooperatif merupakan pembelajaran yang mengelompokan siswa yang memiliki kemmpuan yang beragam dan tidak membedakan ras, suku, budaya maupun jenis kelamin.

b.  Unsur – unsur dasar pembelajaraan kooperatif

Menurut ibrahim, unsur – unsur dasar pembelajaraan kooperatif adalah sebagai berikut :

  1. Siswa dalam kelompoknya haruslah beranggapan bahwa mereka “sehidup sepenanggungan bersama”.
  2. Siswa bertanggung jawab atas segala sesuatu di dalam kelompoknya, seperti milik mereka sendiri.
  3. Siswa haruslah melihat bahwa semua anggota di dalamkelompoknya memiliki tujuan yang sama.
  4. Siswa haruslah membagi tugas dan tanggungijawab yang sama di antara anggota kelompoknya.
  5. Siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan hadiah/ penghargaan yang akan dikenakan utnuk semua anggota kelompok.
  6. Siswa berbagi kepemimpinan dan mereka membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajarnya.
  7. Siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individu materi yang akan ditangani dalam kelompok kooperatif.

 

 Agar pembelajaran kooperatif dapat terlaksana dengan baik dan optimal  hendaknya guru tidak meninggalkan unsur-unsur pembelajaran kooperatif seperti yang telah diuraikan di atas.

c. Tujuan pembelajaran kooperatif

Model pembelajaraan kooperatif dikembangkan untuk mencaPendidikan Kewarganegaraan aetidak – tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman,dan pengembangan keterampilan sosial.

  1. Hasil belajar Akademik

Model pembelajaran kooperatif unggul dalam membantu siswa memahami konsep – konsep yang sulit. Model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar. Sedangkan menurut Slavin, pembelajaran kooperatif dapat merubah norma budaya anak muda dan membuat budaya lebih dalam tugas – tugas pembelajaraan.

        Dengan menerapkan pembelajaran kooperatif diharapkan mendapatkan hasil belajar akademik yang maksimal yaitu mampu memahami konsep-konsep yang sulit serta dapat mengubah norma budaya anak muda menjadi budaya lebih untuk menyelesaikan tugas-tugas dengan baik.

  1. Penerimaan terhadap keragaman

Efek samping yang kedua dari model pembelajaran kooperatif adalah penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda menurut ras, budaya, kelas sosial, kemampuan, maupun ketidak mampuan. Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk bekerja saling bergantung satu sama lain atas tugas– tugas bersama, dan melalui penggunaan struktur penghargaan kooperatif, belajar untk menghargai satu sama lain.

Dengan menerapkan pembelajaran kooperatif juga dapat memberikan efek yang positif terhadap nilai keragaman dimana peserta didik mampu menerima perbedaan baik ras, suku, budaya, kelas social maupun kemampuan.

 

      1. Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams-Games-Tournaments (TGT)

Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama di dalam kelompok-kelompok kecil untuk membantu satu sama lain dalam belajar.

Posamentter (1999: 12) secara sederhana menyebutkan cooperativelearning atau belajar secara kooperatif adalah penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memberikan mereka sebuah atau beberapa tugas.

Muhammad Nur (2005: 1) mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif dapat memotivasi seluruh siswa, memanfaatkan seluruh energi sosial siswa, saling mengambil tanggungjawab. Model pembelajaran kooperatif membantu siswa belajar setiap mata pelajaran, mulai dari keterampilan dasar sampai pemecahan masalah yang kompleks. Pendapat ini sejalan dengan Abdurrahman dan Bintoro (2000: 78) mengatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah, silih asih, dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat nyata.

Guru dapat menyusun kegiatan kelas, sehingga siswa akan berdiskusi, dan mengungkapkan ide-ide, konsep-konsep, dan keterampilan sehingga siswa benar-benar memahami konsep dan keterampilan yang dipelajarinya, Guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu benar di dalam kelas untuk kegiatan-kegiatan pembelajaran produktif dan dapat mengorganisasikan kelas, sehingga siswa saling berinteiraksi satu dan yang lain, saling bertanggung jawab, dan belajar untuk menghargai satu sama lain

Untuk menciptakan suasana belajar kooperatif bukan suatu pekerjaan yang mudah. Untuk menciptakan suasana belajar tersebut diperlukan pemahaman filosofis dan keilmuan yang cukup disertai dedikasi yang tinggi serta latihan yang cukup pula.

Pembelajaran kooperatif didasarkan pada gagasan atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab terhadap akfivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang menganut paham konstruktivisme.

Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakanpembelajaran kooperatif merubah peran guru dari peran yang berpusat pada gurunya ke pengelolaan siswa dalam kelompok-kelorpok kecil. Menurut teori konstruktivis, tugas guru (pendidik). adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada diri sendiri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal.

Terkait dengan model pembelajaran ini, Ismail (2013: 21) menyebutkan (enam) langkah dalam pembelajaran Kooperatif, yaitu sesuai tabel berikut ini.

Tabel. 1 Langkah-langkah Pembelajarran Kooperatif

Fase ke-

Indikator

Tingkah Laku Guru

1

Menyampaikan

tujuan dan

memotivasisiswa

Gurumenyampaikan semua tujuan pelajaran yang ingin dicapai pada pelajaran tersebutdan memotivasi siswa belajar.

2

Menyampaikan

informasi

 

Guru menyampaikan informasi kepada siswa dengan jalan mendemonstrasikan atau lewat bahan bacaan.

3

Mengorganisasikan

siswa ke dalam

kelompok-kelompok

belajar

Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membantu setiap kelompok agar melakukan transisi secara efisien.

4

Membimbing kelompok bekerja dan belajar

Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakan tugas.

5

Evaluasi

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya.

6

Memberikan penghargaan

Guru mencari cara untuk menghargai upaya atau hasil belajar individu maupun kelompok.

 

 

Pembelajaran kooperatif menuntut guru untuk berperan relatif berbeda Dari pembelajaran tradisional. Berbagai peran guru dalam pembelajaran kooperatif tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:

  1. merumuskan tujuan pembelajaran,
  2. menentukan jumlah kelompok dalam kelompok belajar,
  3. menentukan tempat duduk siswa,
  4. merancang bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan positif,
  5. menentukan peran serta untuk menunjang saling ketergantungan positif,
  6. menjelaskan tugas akademik,
  7. menjelaskan kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama,
  8. menyusun akuntabilitas individual,
  9. menyusun kerja sama antar kelompok,
  10. menjelaskan kriteria keberhasilan,
  11. menjetaskan perilaku siswa yang diharapkan,
  12. memantau perilaku siswa,
  13. memberikan bantuan kepada siswa dalam menyelesaikan tugas,
  14. melakukan intervensi untuk mengajarkan keterampilan bekerja sama,
  15. menutup pelajaran,
  16. Menilai kerja sama antar anggota kelompok.

Meskipun kerja sama merupakan kebutuhan manusia dalam kehidupan sehari-hari, untuk mengaktualisasikan kansep tersebut ke dalam suatu bentuk perencanaan perbelajaran atau program satuan pelajaran bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan peran guru dan siswa yang optimal untuk mewujudkan suatu pembelajaran yang benar-benar berbasis kerjasama atau gotong royong.

Tiga model pembelajaran kooperatif umum yang cocok untuk hampir seluruh mata pelajaran dan tingkat kelas. Students Teems Achievement Division (TGT), Teams-Games-Tournament (TGT), dan Jigsaw

Teams-Games-Tournament (TGT) adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif yang menempatkan siswa dalam kelompok–kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang siswa yang memiliki kemampuan, jenis kelamin dan suku kata atau ras yang berbeda. Guru menyajikan materi, dan siswa bekerja dalam kelompok mereka masing–masing.

Dalam kerja kelompok guru memberikan LKS kepada setiap kelompok. Tugas yang diberikan dikerjakan bersama–sama dengan anggota kelompoknya. Apabila ada dari anggota kelompok yang tidak mengerti dengan tugas yang diberikan, maka anggota kelompok yang lain bertanggungjawab untuk memberikan jawaban atau menjelaskannya, sebelum mengajukan pertanyaan tersebut kepada guru.

Akhirnya untuk memastikan bahwa seluruh anggota kelompok telah menguasai pelajaran, maka seluruh siswa akan diberikan permainan akademik. Dalam permainan akademik siswa akan dibagi dalam meja-meja turnamen,dimana setiap meja turnamen terdiri dari 5 sampai 6 orang yang merupakan wakil dari kelompoknya masing-masing.

Dalam setiap meja permainan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang sama. Siswa dikelompokkan dalam satu meja turnamen secara homogen dari segi kemampuan akademik, artinya datam satu meja turnamen kemampuan setiap peserta diusahakan agar setara. Hal ini dapat ditentukan dengan melihat nilai yang mereka peroleh pada saat pre-test.

Skor yang diperoleh setiap peserta dalam permainan akademik dicatat pada lembar pencatat skor. Skor kelompok diperoleh dengan menjumlahkan skor–skor yang diperoleh anggota suatu kelompok, kemudian dibagi banyaknya anggota kelompok tersebut. Skor kelompok ini digunakan untuk memberikan penghargaan tim berupa sertifikat dengan mencantumkan predikat tertentu.

Menurut Slavin pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 langkah tahapan yaitu tahap penyajian ketas (class precentation), belajar dalam kelompok (teams), permainan (games), pertandingan (tournament), dan perhargaan kelompok team recognition).

Berdasarkan apa yang diungkapkan oleh Slavin, maka model pembelajaran kooperatif tipe TGT memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Siswa Bekerja dalam Kelompok-kelompok Kecil

Siswa ditempatkan dalam kelompok-kelompok belajar yang beranggotakan 5 sampai 6 orang yang memiliki kemampuan, jenis kelamin, dan suku atau ras yang berbeda.

Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantu antar Siswa yang berkemampuan lebih dengan Siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran. Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif sangat menyenangkan.

  1. Games Tournament

Dalam permainan ini setiap siswa yang bersaing merupakan wakil dari kelompoknya. Siswa yang mewakili kelompoknya, masing-masing ditempatkan dalam meja-meja turnamen. Tiap meja turnamen ditempati 5 sampai 6 orangpeserta, dan diusahakan agar tidak ada peserta yang berasal dari kelompok yang lama.

Dalam setiap meja turnamen diusahakan setiap peserta homogen. Permainan ini diawali dengan memberitahukan aturan permainan. Setelah itu permainan dimulai dengan membacakan kartu-kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci ditaruh terbalik di atas meja sehingga soal dan kunci tidak terbaca).

Permainan pada tiap meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut. Pertama, setiap pemain dalam tiap meja menentukan dulu pembaca coaldan pemain yang pertama dengan cara undian. Kemudian pemain yang menangundian mengambil kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan kepada pembaca soal.

Pembaca soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yangdiambil oleh pemain. Selanjutnya soal dikerjakan secara mandiri oleh pemaindan penantang sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan soal selesai, maka pemain akan membacakan hasilpekerjaannya yang akan ditangapi oleh penantang searah jarum jam. Setelah itu pembaca soal akan membuka kunci jawaban dan skor hanya diberikan kepadapemain yang menjawab benar atau penantang yang pertama kali memberikan jawaban benar.

Jika semua pemain menjawab salah maka kartu dibiarkan saja. Permainan dilanjutkan pada kartu soal berikutnya sampai semua kartu soal habis dibacakan,

dimana postisi pemain diputar searah jarum jam agar setiap peserta dalam satumeja turnamen dapat berperan sebagai pembaca soal, pemain, dan penantang. Di sini Permainan dapat dilakukan berkali-kali dengan syarat bahwa setiap peserta harus mempunyai kesempatan yang sama sebagai pemain, penantang, dan pembaca soal.

Dalam permainan ini pembaca soal hanya bertugas untuk membaca soal dan membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau memberikan jawaban pada peserta lain. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain dalam satu meja menghitung jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan berapa poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan.

Selanjutnya setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh berdasarkan tabel yang telah disediakan.

Selanjutnya setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang diperoleh kepada ketua kelompok.

Ketua kelompok memasukkan poin yang diperoleh anggota kelompoknya pada tabel yang telah disediakan, kemudian menentukan kriteria penghargaan yang diterima oleh kelompoknya.

3) Penghargaan Kelompok

Langkah pertama sebelum memberikan penghargaan kelompok adalah menghitung rerata skor kelompok. Untuk memilih rerata skor kelompok dilakukan dengan cara menjumlahkan skor yang diperoleh oleh masing-masing anggota kelompok dibagi dengan banyaknya anggota kelompok. Pemberian penghargaan didasarkan atas rata-rata poin yang didapat oieh kelompok tersebut.

Dimana penentuan poin yang diperoleh oleh masing-masing anggota kelompok didasarkan pada jumlah kartu yang diperoleh oleh seperti ditunjukkan pada tabel berikut.

Tabel.2 Perhitungan Poin Permainan Untuk Empat Pemain

Pemain dengan

Poin Bila Jumlah Kartu yang Diperoleh

Top Scorer

40

High Middle Scorer

30

Low Middle Scorer

20

Low Scorer

10

 

Taber.3 Perhitungan Poin Permainan Untuk Tiga Pemain

Pemain dengan

Poin Bila Jumlah Kartu yang Diperoleh

Top Scorer

60

Middle Scorer

40

Low Scorer

20

 (Sumber : Slavin, 1995:90)

Dengan keterangan sebagai berikut :

Top Scorer (skor tertinggi), High Middle scorer (skor tinggi), Low Middle Scorer (skor rendah), Low Scorer (skor terendah).

Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT ada beberapa tahapan yang perlu ditempuh, yaitu:

  1. Mengajar (teach)

Mempersentasikan atau menyajikan materi, menyampaikan tujuan, tugas, atau kegtiatan yang harues dilakukan siswa, dan memberikan motivasi.

  1. Belajar Kelompok (team study)

Siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 5 sampai 6 orang dengan kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras/suku yang berbeda. Setelah guru menginformasikan materi, dan tujuan pembelajaran, kelompok berdiskusi dengen menggunakan LKS. Dalam kelompok terjadi diskusi untuk memecahkan masalah bersama, saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika ada anggota kelompok yang salah dalam mer jawab.

  1. Permainan (game tournament)

Permainan diikuti oleh anggota kelompok darti masing-masing kelompok yang berbeda. Tujuan Dari permainan ini adalah untuk mengetahui apakah semua anggota kelompok telah menguasai materi, dimana pertanyaan-pertanyaan yang diberikan berhubungan dengan materi yang telah didiskusikan dalam kegiatan kelompok.

  1. Penghargaan kelompok (team recognition)

Pemberian penghargaan (rewards) berdasarkan pada rerata poin yang diperoleh oleh kelompokdari permainan. Lembar penghargaan dicetak dalam kertas HVS, dimana penghargaan ini akan diberikan kepada tim yang memenuhi kategorti rerata poin sebagai berikut.

Tabel. 4 Kriteria Penghargaan Kelompok

Kriteria

(Rerata Kelompok)

Predikat

30 sampai 39

Tim Kurang Baik

40 sampai 44

Tim Baik

45 sampai 49

Tim Baik Sekali

50 ke atas

Tim Istimewa

(Sumber: Slavin, 1995)

 

      1. Budaya Demokrasi

A. Pengertian Dan Prinsip-Prinsip Budaya Demokrasi

1. Pengertian Budaya Demokrasi

 

Kehidupan yang demokratis merupakan amanat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Tujuan utama yang hendak dicapai adalah masyarakat adil dan makmur. Susunan sila-sila Pancasila menyatakan bahwa demokrasi tidak sekadar alat, melainkan bagian dari tujuan itu sendiri. Artinya, tujuan utama itu hendak dicapai melalui cara-cara yang demokratis untuk menikmati kehidupan yang adil dan makmur dalam suasana yang demokratis.

Susilo Bambang Yudhoyono memiliki pandangan mengenai demokrasi.

  1. Ukuran normatif. Demokrasi adalah partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan pada penetapan kebijakan. Ada pemilu yang jurdil, perekrutan kepemimpinan yang teratur, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan kebebasan pers.
  2. Ukuran demokrasi yang mapan (consolidated democracy). Negara dikatakan demokratis atau sebuah demokrasi dikatakan telah mapan apabila memiliki lima arena, yaitu adanya civil society (masyarakat madam), political society (masyarakat politik), economic society (masyarakat ekonomi), rule of law (aturan main: undang-­undang dan peraturan), dan state apparatus (aparatur negara) yang berfungsi dengan baik.

Dari segi pelaksanaan, menurut Inu Kencana, demokrasi terbagi atas dua model berikut.

  1. Demokrasi langsung

Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya pada suatu negara  secara langsung. Pada demokrasi langsung, lembaga legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan. Pemilihan pejabat eksekutif (presiden, wapres, gubernur, dan walikota) dilakukan oleh rakyat secara langsung melalui pemilu. Pemilihan anggota parlemen atau legislatif (DPR dan DPD) juga dilakukan rakyat secara langsung.

  1. Demokrasi tidak langsung (demokrasi perwakilan)

Demokrasi tidak langsung terjadi apabila rakyat mewujudkan kedaulatannya tidak melalui pihak eksekutif, melainkan melalui lembaga perwakilan. Pada demokrasi tidak langsung, lembaga perwakilan/parlemen dituntut peka terhadap berbagai hal yang menyangkut kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara.

Secara etimologis, demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos yang berarti rakyat atau penduduk dan kratos atau kratein yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat.

2. Prinsip-Prinsip Budaya Demokrasi

Demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Negara yang menganut demokrasi dicirikan oleh adanya pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat.

Mewujudkan demokrasi bukanlah hal mudah. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, melainkan demi pertanggungjawaban. Sebuah pemerintahan demokratis mungkin tidak bisa bertindak secepat pemerintahan diktator. Namun, ketika tindakan diambil, dukungan publik bisa dipastikan muncul.

Setiap bangsa harus menata pemerintahan yang berpijak pada sejarah dan kebudayaan sendiri. Namun demikian, terdapat prinsip-prinsip dasar yang harus ada dalam setiap bentuk demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi ini disebut sebagai nilai yang universal. Sebagai contoh, tata cara pembuatan undang-undang sangat bervariasi antara satu negara dan negara lainnya. Namun, proses pembuatan tersebut harus mematuhi prinsip dasar keterlibatan rakyat, sehingga mereka merasa memiliki undang-undang tersebut.

B. Masyarakat Madani

1. Pengertian Masyarakat Madani (Civil Society)

Ukuran demokrasi yang mapan menuntut adanya civil society (masyarakat madani). Apakah masyarakat madani itu?

Istilah madani secara umum dapat diartikan sebagai “adab atau beradab”. Masyarakat madani dapat didefinisikan sebagai suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Untuk dapat mencapai tata masyarakat seperti ini, persyaratan yang harus dipenuhi antara lain adanya keterlibatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama, kontrol masyarakat dalam jalannya proses pemerintahan, serta keterlibatan dan kemerdekaan masyarakat dalam mernilih pemimpinnya. Ketiga hal tersebut merupakan sebuah jembatan yang akan menghubungkan suatu negara dengan kehidupan masyarakat yang demokratis.

2. Ciri-Ciri Masyarakat Madani

Masyarakat madani memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

  1. Free public sphere (ruang publik yang bebas) Ruang publik diartikan sebagai wilayah di mana masyarakat sebagai warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta memublikasikan informasi kepada publik. Dengan demikian, tidak mungkin terjadi pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh pemerintah yang berkuasa.
  2. Demokratisasi

Menurut Neera Candoke, masyarakat sosial berkaitan dengan wacana kritik rasional masyarakat yang secara ekplisit mensyaratkan tumbuhnya demokrasi. Dalam kerangka itu, hanya negara demokratis yang mampu menjamin masyarakat madani. Pelaku politik dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil. Mekanisme demokrasilah yang memiliki kekuatan untuk mengoreksi kecenderungan itu.

Sementara itu, untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut berbanding lurus dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara berimbang. Dengan demikian, mekanisme demokrasi antarkomponen bangsa, terutama pelaku politik praktis, merupakan bagian terpenting dalam menuju masyarakat madani.

  1. Toleransi

Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau kelompok masyarakat lain yang berbeda.

  1. Pluralisme

Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima kenyataan disertai sikap tulus bahwa masyarakat itu majemuk. Kemajemukan itu bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada masyarakat yang tunggal, monolitik, sama, dan sebangun dalam segala segi.

  1. Keadilan sosial (social justice)

Keadilan yang dimaksud adalah keseimbangan dan pembagian yang proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan jika tidak ada monopoli dan pemusatan salah satu aspek kehidupan pada seseorang atau sekelompok masyarakat. Intinya, masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).

Berikut ini pilar-pilar penegak demokrasi.

  1. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
  2. Pers yang bebas.
  3. Supremasi hukum.
  4. Perguruan tinggi.
  5. Partai politik.
  1. Partisipasi sosial

Partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik bagi terciptanya masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi apabila tersedia iklim yang memungkinkan otonomi individu terjaga. Antitesis (lawan) masyarakat madani adalah tirani yang memasung kehidupan bangsa secara kultural dan struktural, serta menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumen sosialnya. Masyarakat dalam sebuah tirani pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah perubahan. Tidak ada tempat yang cukup luas untuk mengekspresikan partisipasinya dalam proses perubahan. Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, yang menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara permanen oleh gerakan masyarakat sipil. Mereka senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo tanpa memedulikan rasa ketidakadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa Orde Baru, cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak dipakai daripada partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh proses pembangunan. Namun, kemudian terbukti bahwa pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat fatal terhadap keseimbangan sosial politik. Masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, sehingga memunculkan protes-protes sosial yang berakibat menurunnya kepercayaan masyarakat pada sistem yang berlaku. Dengan demikian, jelas terbukti bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat madani. Tanpa adanya partisipasi, yang ada hanyalah demokrasi semu (pseudo-democracy), sebagaimana yang pernah dipraktikkan oleh rezim Orde Baru.

  1. Supremasi hukum

Penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan harus diposisikan secara netral. Artinya, tidak ada pengecualian untuk memperoleh kebenaran di atas hukum. Hal ini bisa terjadi apabila terdapat komitmen yang kuat antarkomponen bangsa untuk saling mengikat diri dalam sistem dan mekanisme yang disepakati bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang dapat menghilangkan rasa keadilan kelompok minoritas. Partisipasi tanpa diimbangi penegakan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali.

Dengan demikian, semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergi dari pengakuan hak­hak untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat. Di dalamnya ada peran hukum strategis sebagai alat pengandalian dan pengawasan dalam masyarakat.

C. Demokrasi Di Indonesia

1. Prinsip-Prinsip Demokrasi Pancasila

Setiap negara mempunyai ciri khas pelaksanaan demokrasinya yang ditentukan oleh sejarah negara yang bersangkutan, kebudayaan, pandangan hidup, dan tujuan yang ingin dicapainya. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi Pancasila, yaitu pemerintahan rakyat berdasarkan nilai-nilai filsafat Pancasila atau pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat berdasarkan sila-sila Pancasila.

Namun, belum ada kesatuan pendapat para ahli mengenai rumusan pengertian demokrasi Indonesia secara definitif.

2.    Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi

Secara umum, demokrasi di Indonesia dibagi dalam tiga periode utama.

  1. Demokrasi pada era orde lama (1945 – 1965)
  2. Demokrasi pada era orde baru (1965 – 1998)
  3. Demokrasi pada era reformasi (1998 – sekarang)

a. Demokrasi pada Era Orde Lama (1945 – 1965)

Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan sistem parlementer pada masa ini tidak dapat berjalan dengan semestinya. Hal ini memberi peluang bagi partai politik dan lembaga legislatif untuk mendominasi pemerintahan. Dalam kabinet parlementer, koalisi parpol yang dibangun sangatlah rapuh sehingga usia kabinet pada masa itu tidak dapat bertahan lama. Presiden dan tentara yang memiliki peran penting justru tidak memperoleh saluran dan tempat yang realistis dalam konstelasi politik. Kondisi ini mendorong Presiden Soekarno untuk memberlakukan kembali UUD 194 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan kembalinya konstitusi ke UUD 1945, rakyat menaruh harapan yang sangat besar terhadap kehidupan politik yang stabil dan demokratis. Namun pada kenyataannya, pemerintahan yang terjadi bersifat otoriter yang terwujud dalam sistem pemerintahan demokrasi terpimpin.

b. Demokrasi pada Era Orde Baru (1965 – 1998)

Pemerintahan Orde Baru terbentuk tanggal 1 Oktober 1965. Sejak itu, tidak ada lagi pemikiran politik (political thinking) seperti masa 1945-1965. Setelah hubungan Soeharto dan militer mulai merenggang di penghujung 1980-an, ruang bagi wacana publik mulai tampak. Saat itulah wacana baru seperti demokratisasi, kesenjangan sosial, gender, dan lingkungan mulai muncul.

Landasan formal periode ini adalah Pancasila, UUD 1945, dan ketetapan-ketetapan MPR. Orde Baru (Orba) melakukan koreksi total terhadap penyelewengan UUD 1945 yang terjadi pada era Orde Lama. Contohnya, menghapuskan Tap No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup; memberikan DPR-GR beberapa hak kontrol, tetapi tetap berfungsi membantu pemerintah; dan pimpinan DPR-GR tidak lagi merangkap jabatan menteri. Orba menerapkan “Demokrasi Pancasila”.

Secara umum, Demokrasi Pancasila memandang kedaulatan rakyat sebagai inti sistem demokrasi. Rakyat mempunyai hak yang sama untuk menentukan dirinya sendiri. Pemerintah juga menjamin rakyat untuk menjalankan hak politiknya. Perumusan Demokrasi Pancasila adalah sebagai berikut.

  1. Demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan kembali asas-asas hukum dan kepastian hukum.
  2. Demokrasi dalam bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga negara.
  3. Demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya adalah pengakuan dan perlindungan HAM, serta peradilan yang bebas dan tidak memihak.

Namun, dalam kenyataannya, Demokrasi Pancasila masa Orba hanya sebatas gagasan, belum sampai pada tataran penerapan.Dalam praktik kenegaraan dan pemerintahan, rezim ini tidak memberi ruang bagi kehidupan demokrasi. Rezim Orba ditandai oleh: (1) dominannya peranan ABRI; (2) birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik; (3) pengebirian peran dan fungsi partai politik; (4) campur tangan pemerintah dalam berbagal urusan partai politik dan publik; (5) masa mengambang; (6) monopoli ideologi negara; serta (7) inkorporasi lembaga nonpemerintah. Tujuh ciri tersebut, menurut M. Rusli Karim, mengakibatkan terjadinya hubungan negara versus masyarakat dan nilai-nilai demokrasi belum ditegakkan dalam Demokrasi Pancasila.

Orde Baru berupaya menanamkan keyakinan bahwa pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik hanya bisa dicapai dengan membatasi partisipasi politik. Setiap individu harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Masyarakat hidup dalam lingkup paham kekeluargaan, tidak ada perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin. Tugas pemimpin adalah menafsirkan kehendak rakyatnya, sementara tugas rakyat adalah mengikuti pemimpin. Singkatnya, negara adalah sesuatu yang integral, dengan batas-batas yang akhirnya malah tak jelas. Orde Baru membiasakan kita akrab dengan istilah negara integralistik dan negara kekeluargaan, hingga sederet konsep turunannya, seperti Demokrasi Pancasila, asas kekeluargaan, dan sistem musyawarah mufakat.

Pada masa Orde Baru, terdapat program indoktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). P4 dimaksudkan untuk menciptakan sebuah masyarakat yang bebas dari nilai-nilai sektarianisme (terpisah atas golongan, budaya, agama, dan sebagainya). Dengan kata lain, masyarakat yang bebas dari perbedaan pendapat. Menghindari perbedaan pendapat berarti menciptakan harmoni. Harmoni hadir dalam, sebuah keseragaman ide. Perbedaan pendapat dianggap berpotensi melahirkan konflik. Dengan demikian, output dari semua skema besar ini adalah manusia Indonesia yang menjalani perannya sendiri secara maksimal, layaknya mesin dalam kerja besar pembangunan.

Gelombang perubahan yang dilakukan oleh Orde Baru memang sangat dahsyat. Rezim ini melahirkan Indonesia yang benar?benar berbeda dari periode sebelumnya. Negara hadir di mana-mana dan harus bersih dari berbagai tekanan politik. Untuk itu, aspirasi politik dikebiri. Partai politik disederhanakan. Pancasila diangkat setinggi-tingginya, hingga nyaris mencapai level agama. Berbeda pendapat atau melayangkan kritik dianggap melanggar sesuatu yang “sakral” dan hampir sama dengan “dosa”.

Pada satu titik, Orde Baru tak ubahnya sebuah panser pragmatisme yang berjalan tanpa hambatan. Kritik menjadi sesuatu yang riskan untuk diambil. Ruang ekspresi terasa sempit. Akhirnya, suara-suara alternatif mengambil jalan memutar dan menggunakan medium yang sangat Samar agar bisa disuarakan. Seni kemudian muncul sebagai saluran ekspresi yang ampuh. Puisi Rendra, lagu Iwan Fals, atau pentas Teater Koma mampu meloloskan beberapa keluh kesah kolektif bangsa ini ke hadapan publik.

Konsep negara integralistik sendiri akhirnya melemah di penghujung Orde Baru. Sementara itu, hubungan Soeharto dengan militer merenggang. Akhirnya, Soeharto hanya bisa memperkuat hubungannya dengan satu pilar tersisa, yaitu Golkar sebagai representasi golongan fungsional.

Faktor lain yang turut berpengaruh adalah karakter totalitarian yang terlalu kental. Karakter ini menjadi sesuatu yang sangat ganjil di Indonesia yang tengah berkembang pesat selama dekade 1990-an. Meningkatnya kesadaran rakyat dan munculnya kelas menengah baru membuat kian banyak orang mulai sadar haknya. Benturan tak bisa dihindari lagi ketika kelompok berkesadaran baru ini berhadapan dengan negara. Negara masih saja mengembuskan pengutamaan kewajiban dibanding hak dalam upaya mempertahankan keluarga besar Indonesia yang terasa kian hari kian abstrak.

c. Demokrasi pada Era Reformasi (1998 – sekarang)

Runtuhnya rezim otoriter Orde Baru telah membawa harapan baru bagi tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Bergulirnya reformasi yang mengiringi keruntuhan rezim tersebut menandakan tahap awal bagi transisi demokrasi Indonesia. Sukses atau gagalnya suatu transisi demokrasi sangat bergantung pada empat faktor kunci, yaitu sebagai berikut.

  1. Komposisi elite politik.
  2. Desain institusi politik.
  3. Kultur politik atau perubahan sikap terhadap politik di kalangan elit dan nonelit.
  4. Peran civil society atau masyarakat madani.

Transisi demokrasi selalu dimulai dengan jatuhnya pemerintahan otoriter. Panjang pendeknya masa transisi tergantung pada kemampuan rezim demokrasi baru mengatasi problem transisional yang merintangi. Problem paling mendasar yang dihadapi negara-negara yang sedang mengalami transisi menuju demokrasi adalah ketidakmampuan membentuk tata pemerintahan baru yang bersih, transparan, dan akuntabel. Akibatnya, legitimasi demokrasi menjadi lemah. Tanga legitimasi yang kuat, rezim demokrasi baru akan kehilangan daya tariknya. Setiap rezim membutuhkan legitimasi, dukungan, atau paling tidak “persetujuan tanpa protes” agar dapat bertahan. Apabila rezim kehilangan legitimasi, ia harus memproduksinya atau ia akan jatuh.

Secara historis, semakin berhasil suatu rezim dalam menyediakan apa yang diinginkan rakyat, semakin mengakar kuat keyakinan rakyat terhadap legitimasi demokrasi. Semakin kuat keyakinan terhadap legitimasi demokrasi dan komitmen untuk mematuhi aturan main sistem demokrasi, semakin mudah rezim merumuskan kebijakan untuk merespons persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat. Tingkat legitimasi yang tinggi juga memfasilitasi kesabaran dan dukungan publik terhadap pemerintah dalam menghadapi problem-problem yang akut.

Menurut Azyumardi Azra, ada empat prasyarat yang dapat membuat pertumbuhan demokrasi menjadi lebih memberi harapan.

  1. Peningkatan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan. Semakin sejahtera ekonomi sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk mengembangkan dan mempertahankan demokrasi.
  2. Pemberdayaan dan pengembangan kelompok-kelompok masyarakat yang favourable (menguntungkan) bagi pertumbuhan demokrasi seperti “kelas menengah”, LSM, atau para pekerja. Pemberdayaan dan pengembangan kelompok masyarakat tersebut membuat hubungan negar dan masyarakat berimbang.
  3. Hubungan internasional yang lebih adil dan seimbang. Sebagai negara yang sedang menuju demokrasi, upaya demokratisasi membutuhkan dukungan dunia internasional. Tujuannya adalah bantuan ekonomi internasional lebih efektif dan efisien bagi rakyat.
  4. Sosialisasi pendidikan kewarganegaraan (civic education). Pembentukan warga negara yang memiliki keadaban demokratis dan demokrasi berkeadaban bisa dilakukan secara efektif melalui pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan memungkinkan generasi muda menguasai pengetahuan, nilai-nilai, dan keahlian yang diperlukan untuk melestarikan demokrasi.

Keseluruhan motif pembaruan politik pada Orde Reformasi dapat dilihat dari berbagai kebijakan berupa kebebasan bemolitik Kebebasan bemolitik dapat tercermin dari hat-hal berikut ini.

  1. Kemerdekaan pers

Pers dibebaskan dari izin (SIUPP) dan pengawasan (misalnya, pengawasan BAKIN). Dengan demikian, dalam waktu singkat muncul ratusan media cetak, puluhan radio, berbagai TV swasta, dan media elektronik lainnya.

  1. Kemerdekaan membentuk partai politik Setiap orang dibebaskan untuk

Membentuk partai politik. Dalam beberapa bulan menjelang pemilu, terbentuk puluhan partai, walau akhirnya hanya 48 parpol yang dapat mengikuti pemilu.

  1. Terselenggaranya pemilu yang demokratis

Setelah 44 tahun sejak pemilu pertama tahun 1955, terselenggaralah pemilu kedua yang bebas dan demokratis pada 1999.

  1. Pembebasan narapidana politik (napol) dan tahanan politik (tapol)

Tapol dan napol mulai dibebaskan sebagai wujud kebebasan berpolitik. Beberapa di antaranya adalah tapol yang dituduh terlibat peristiwa PKI 1965.

  1. Otonomi daerah

Keluarnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah secara nyata memperluas kekuasaan pemerintahan pada pemerintah daerah (pemda).

Mulai terwujudnya kehidupan demokratis di Era Reformasi antara lain ditandai oleh:

  1. adanya reposisi dan redefinisi TNI dalam kaitan keberadaannya di sebuah negara demokrasi;
  2. diamandemennya pasal-pasal dalam konstitusi Negara RI (amandemen I–IV);
  3. adanya kebebasan pers;
  4. dijalankannya kebijakan otonomi daerah;
  5. pembuatan paket perundang-undangan politik (UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Pemilihan Presiders Langsung, UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPRD, dan DPD).

Indikasi ini tidak serta merta dapat mewujudkan kehidupan yang demokratis dalam negara, kita. Terdapat unsur-unsur lainnya yang dapat menghambat proses demokratisasi, di antaranya adalah pemerintahan yang tidak akuntabel, wakil rakyat yang tidak representatif, dan korupsi.

3. Pemilihan Umum (Pemilu)

a. Definisi Pemilu

Dalam pemilu, warga negara yang secara usia sudah memiliki hak pilih dapat memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat, pemimpin negara, atau pemimpin pemerintahan. Hal ini merupakan cerminan bahwa pemerintah dipilih oleh rakyat. Seluruh rakyat mempunyai hak memilih sebagian rakyat untuk menjadi pemimpin mereka. Melalui pemilu, rakyat memunculkan calon pemimpin pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Menurut Arendt Liphart, sistem pemilu adalah elemen paling mendasar dari demokrasi pewakilan. Liphart juga berpendapat bahwa sistem pemilu memengaruhi perilaku pemilih dan hasil pemilu, sehingga sistem pemilu juga memengaruhi representasi politik dan sistem kepartaian.

Menurut Benjuino Theodore, sistem pemilu adalah rangkaian aturan yang mengekspresikan preferensi politik pemilih. Suara dari pemilih diterjemahkan menjadi kursi.

b. Tujuan Pemilu

Tujuan pemilu adalah sebagai berikut.

  1. Melaksanakan kedaulatan rakyat.
  2. Mewujudkan hak asasi politik rakyat.
  3. Memilih wakil-wakil rakyat yang, duduk di DPR, DPD, dan DPRD, serta memilih presiden dan wakil presiden.
  4. Melaksanakan pergantian personil pemerintah secara damai, aman, tertib, dan konstitusional.
  5. Menjamin kesinambungan pembangunan nasional.

Pada dasarnya, pemilu merupakan sarana rakyat untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945, yaitu “kedaulatan berada di Langan rakyat, dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Artinya, wakil rakyat seperti DPR, DPRD, atau DPD akan merepresentasikan aspirasi rakyat. Tujuan pemilu dalam negara yang demokratis adalah sebagai berikut.

  1. Untuk mendukung atau mengubah personil dalam lembaga legislatif.
  2. Adanya dukungan mayoritas rakyat dalam menentukan pemegang eksekutif untuk jangka waktu tertentu.
  3. Rakyat melalui perwakilan secara periodik dapat mengoreksi atau mengawasi eksekutif.

c. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia

Pemilu adalah sarana demokrasi. Sebuah negara yang demokratis pastilah menyelenggarakan pemilu yang bebas, jujur, dan adil. Jika penyelenggaraan pemilu penuh manipulasi, kecurangan, berada di bawah paksaan, dan tidak adil, maka telah terjadi ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Oleh karena pelaksanaan pemilu yang bebas, jujur, dan adil sangat penting, diperlukan berbagai perangkat hukum yang menjamin hal itu.

Menurut Mudji Sutrisno, prinsip demokrasi dalam pemilu dapat terlaksana dengan baik jika keberadaan bingkai hukum demokrasi dalam pemilu yang bersifat luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil) terjamin. Luber dapat berbentuk perilaku sebagai berikut.

  1. Penghormatan terhadap substansi demokrasi
  2. Kematangan kesadaran politik warga negara dan seleksi rotasi kepemimpinan yang sehat dan profesional melalui pendidikan politik yang beradab
  3. Adanya kepastian hukum

d. Sistem Pemilu di Indonesia

Pemilu 2004 memilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota melalui sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Pemilu ini juga memilih anggota DPD dengan sistem distrik berwakil banyak.

  1. Sistem proporsional dengan daftar calon terbuka (memilih DPR)
  2. Sistem distrik berwakil banyak (memilih DPD)

e. Pelaksanaan Pemilu 2004

Pemilu 2004 dilaksanakan dalam tiga tahap. Tahap pertama bertujuan untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD. Tahap ini dilaksanakan tanggal 5 April 2004. Selanjutnya, tahap kedua dilaksanakan tanggal 5 Juli 2004 dengan tujuan memilih presiden dan wakil presiden. Tahap ini merupakan tahap pemilihan putaran pertama. Maksudnya, jika tidak ada pemenang mutlak (mendapatkan suara 50% plus satu), maka putaran berikutnya akan diadakan tanggal 20 September. Pada putaran kedua ini, dua orang pasangan calon presiden-wakil presiden dengan suara terbanyak pada putaran pertama akan bersaing untuk menjadi presiden dan wakil presiden.

f. Pelaksana pemilihan Umum

Berbeda dengan Pemilu 1999 yang penyelenggaranya adalah wakil-wakil partai politik dan pemerintah, pelaksana penyelenggaraan Pemilu 2004 adalah Komisi pemilihan Umum (KPU) yang bersifat independen dan non-partisan sebagaimana diamanatkan UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Artinya, penyelenggara pemilu adalah satu badan yang anggota-anggotanya bukan berasal dari peserta pemilu (parpol atau perseorangan) atau pemerintah. Dengan demikian, pemilu dapat diselenggarakan secara lebih bebas dan mandiri Serta bebas dari kepentingan-kepentingan politik tertentu. Susunan dan tingkatan KPU adalah sebagai berikut.

  1. Di tingkat nasional, KPU beranggotakan 9 (sembilan) orang yang berasal dari berbagai Tatar belakang, seperti perguruan tinggi/akademisi dan LSM. Pada tingkat provinsi atau kota/kabupaten, KPU beranggotakan 5 (lima) orang. Sebagai pelaksana pemilu, KPU mempunyai organ mendukung pada tingkat kecamatan dan kelurahan yang bertugas melaksanakan pemilu.
  2. Di tingkat kecamatan, penyelenggara disebut Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Mereka berjumlah 5 (lima) orang dan berasal dari tokoh masyarakat setempat.
  3. Di tingkat kelurahan, penyelenggara disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS). Mereka beranggotakan 3 (tiga) orang dan berasal dari tokoh masyarakat setempat.
  4. Di tingkat yang paling bawah, yakni pelaksana pemungutan dan penghitungan suara pada saat dilakukannya pemilihan umum, penyelenggara disebut Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas 7 (tujuh) orang pelaksana dan 2 (dua) orang petugas keamanan.

g. Tahap-Tahap Pemilihan Umum Legislatif

sebagai suatu rangkaian kegiatan, terdapat beberapa tahapan dalam pemilu yang Baling berkaitan, yaitu sebagai berikut.

  1. Pendaftaran pemilih
  2. Penetapan peserta pemilu
  3. Penetapan jumlah kursi
  4. Pencalonan anggota DPR, DPRD, dan DPD
  5. Kampanye
  6. Pemungutan suara dan penghitungan suara

Secara prosedural, terdapat beberapa tahapan tata cara atau proses pemungutan dan penghitungan suara yang dilakukan di seluruh tempat pemungutan suara atau TPS. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut.

  1. Pembukaan tempat pemungutan suara.
  2. Pemungutan suara.

D. Perilaku Yang Mendukung Tegaknya Prinsip-Prinsip  Demokrasi

 

  1. Membudayakan Sikap Terbuka
  2. Mengutamakan Dialog dalam Menyelesaikan Masalah
  3. Menghargai Pendapat Orang Lain
  4. Mau belajar Menerima Keberagaman

BAB III METODE PENELITIAN

    1. Seting Penelitian

Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan di SMKN 2 Tamiang Layang Kabupaten Barito Timur Propinsi Kalimantan Tengah, yang berada  di kota Kabupaten. SMKN 2 Tamiang Layang Kabupaten Barito Timur Propinsi Kalimantan Tengah mempunyai fasilitas yang hamper lengkap dengan adanya Perpustakaan, Laboratorium IPA, Ruang ketrampilan Menjahit, Laboratorium Otomotif, Laboratorium Pertukangan dan Pembangunan, Laboratorium computer, ruang UKS, Ruang OSIS dan lain-lain. Dengan jumlah guru sebanyak 51 orang terdiri dari 1 (satu) kepala sekolah, 4 (empat) wakil Kepala Sekolah dan sisnya guru Mata Pelajaran dan guru Biimbingan Konseling serta 7 Tenaga Administrasi.

 

    1. Objek Penelitian

Objek Penelitian ini adalah Siswa Kelas X dengan jumlah siswa sebanyak 35, yang terdiri dari 6 siswa laki – laki dan 29 siswa perempuan SMKN 2 Tamiang Layang, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.

    1. Prosedur Penelitian

Waktu Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu pada bulan September sampai dengan Nopember 2015. Penelitian ini pada materi Budaya Demokrasi diajarkan.Penelitian ini direncanakan sebanyak 2 siklus masing – masing siklus 1 kali pertemuan. Penelitian ini menggunakan desain Penelitian Tindakan Kelas dengan Siklus.

 

  1. Siklus I

Pada siklus ini membahas subkonsep materi Budaya Demokrasi.

  1. Tahap Perencanaan

Pada tahap ini dilakukan persiapan–persiapan untuk melakukan perencanaan tindakan dengan membuat silabus, rencana pembelajaran, lembar observasi guru dan siswa, lembar kerja siswa, dan membuat alat evaluasi berbentuk tes tertulis dengan model pilihan ganda.

  1. Tahap pelaksanaan

Pada tahap  ini dilakukan :

  1. Siswa diminta untuk mempersiapkan diri di rumah dengan memberi tugas membaca bahan ajar sehingga siswa memiliki kesiapan belajar.
  2. Guru menjelaskan materi Budaya Demokrasi secara klasikal.
  3. Pengorganisasian siswa yaitu dengan membentuk kelompok, masing–masing kelompok terdiri dari 4–6 orang siswa, kemudian LKS dan siswa diminta untuk mempelajari LKS.
  4. Dalam kegiatan pembelajaran secara umum siswa melakukan kegiatan sesuai dengan langkah–langkah kegiatan yang tertera dalam LKS, diskusi kelompok, diskusi antar kelompok, dan menjawab soal – soal. Dalam bekerja kelompok siswa saling membantu dan berbagi tugas. Setiap anggota bertanggung jawab terhadap kelompoknya.
  1. Tahap Observasi

Pada tahapan ini dilakukan observasi pelaksanaan tindakan, aspek yang diamati adalah keaktifan siswa dan guru dalam proses pembelajaran menggunakan lembar observasi aktivitas dan respon siswa serta guru. Sedangkan peningkatan hasil belajar siswa diperoleh dari tes hasil belajar siswa.

  1. Tahap Refleksi

Pada tahap ini dilakukan evaluasi proses pembelajaran pada siklus I dan menjadi pertimbangan untuk merencanakan siklus berikutnya.  Pertimbangan yang dilakukan bila dijumpai satu komponen dibawah ini belum terpenuhi, yaitu sebagai berikut :

  1. Siswa mencapai ketuntasan individual ≥ 70 %.
  2. Ketuntasan klasikal jika ≥ 85% dari seluruh siswa mencapai ketuntasan individual yang diambil dari tes hasil belajar siswa.
  1. Siklus II

Hasil refleksi dan analisis data pada siklus I digunakan untuk acuan dalam merencanakan siklus II dengan memperbaiki kelemahan dan kekurangan pada siklus I. Tahapan yang dilalui sama seperti pada tahap   siklus I.

    1. Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa teknik pengumpulan data yang diterapkan dalam PTK ini yaitu :

    1. Observasi dilakukan oleh guru yang bersangkutan dan seorang

kolaborator untuk merekam perilaku, aktivitas guru dan siswa selama proses pembelajaran berlangsung menggunakan lembar observasi.

b. Tes hasil belajar untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa.

Instrumen yang diganakan pada Penelitian  Tindakan Kelas ini terdiri dari:

  1. Lembar Test / ulangan harian untuk mengetahui hasil belajar siswa.
  2. Lembar observasi siswa untuk mengetahui tingkat mativasi siswa mengikuti pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
  3. Lembar observasi Guru untuk mengetahui kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh Guru.

 

    1. Teknik Analisa Data

Data hasil penelitian selanjutnya dianalisis secara Deskriptif, seperti berikut ini :

1. Data tes hasil hasil belajar digunakan untuk mengetahui ketuntasan

 Belajar siswa atau tingkat keberhasilan belajar pada materi Budaya Demokrasi dengan menggunakan pembelajaran Kooperatif tipe TGT. Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) secara individual jika siswa tersebut mampu mencapai nilai 70.

Ketuntasan klasikal jika siswa yang memperoleh nilai 70 ini jumlahnya sekitar 85% dari seluruh jumlah siswa dan masing – masing di hitung dengan rumus,menurut Arikunto (2012:24) sebagai berikut:

P=FN x 100%

Dimana :         P = Prosentase

                                                F = frekuensi tiap aktifitas

                                                N = Jumlah seluruh aktifitas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Deskripsi kondisi Awal

            1. Perencanaan

Pada tahap perencanaan guru mempersiapkan tindakan berupa rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan Metode Pembelajaran Tipe TGT pada materi Budaya Demokrasi sub (1) Pengertian dan Prinsip-prinsip Budaya Demokrasi. Disamping itu guru juga membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) dan menyusun lembar observasi aktifitas guru dan siswa. Selanjutnya, guru membuat tes hasil belajar. Sebelum pelaksanaan tindakan dilakukan di kelas, guru dan observer mendiskusikan lembar observasi.

    1. Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan awal dilaksanakan pada hari Selasa 29 september 2015 dari pukul 07.00 s.d 08.30 WIB. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan terdiri dari tiga tahap yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Waktu yang dialokasikan untuk kegiatan pendahuluan adalah 10 menit, sedangkan alokasi waktu untuk kegiatan inti adalah 60 menit dan alokasi kegiatan penutup sebesar 20 menit.

Pada kegiatan pendahuluan, guru melakukan tiga kegiatan, yaitu (1) menyapa dan mengecek kehadiran siswa, (2) melakukan icebreaking berupa menyanyi, (3) menggali pengetahuan siswa dan mengaitkan dengan materi pelajaran yang akan diajarkan selanjutnya. Kegiatan icebreaking yang dilakukan guru.

 Melalui kegiatan inti mendesain kegiatan agar siswa dapat mengalami proses menemukan, menamai dan mempresentasikan. Untuk dapat menemukan berkaitan dengan TGT, pertama-tama guru membagi siswa dalam 7 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 4-6 orang siswa.

Guru menjelaskan terlebih dahulu tentang tugas siswa, sebelum penugasan dilakukan sehingga siswa tidak menjadi bingung. Selain itu, selama diskusi berlangsung guru berkeliling kelompok untuk mengawasi siswa bekerja sambil sesekali mengomentari hasil kerja siswa. Perwakilan setiap kelompok kemudian membacakan hasil diskusi kelompok. Siswa dari kelompok lain akan ditanyakan pendapatnya terkait jawaban kelompok yang sedang presentasi. Jika terdapat kekeliruan, guru terlebih dahulu meminta sesama siswa yang melakukan perbaikan.Siswa yang hasil temuan kelompok yang benar dan mempresentasikan dengan bagus mendapatkan pujian dari guru sedangkan siswa yang belum melakukan dengan maksimal dimotivasi dan diberi penguatan.

Kegiatan akhir tindakan awal antara lain: (1) melakukan evaluasi untuk mengetahui pencapaian siswa setelah dilaksanakan pembelajaran dengan strategi TGT, (2) siswa melakukan kilas balik tentang pembelajaran yang baru dilakukan dan (3) siswa dan guru merayakan keberhasilan belajar dengan bertepuk tangan gembira.

    1. Observasi

Partisipasi siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang ada peningkatan dalam Kegiatan Pembelajaran pada tindakan awal setelah dilakukan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar dan respons siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran meskipun masih ada sebagain kecil masalah yang muncul pada saat proses Kegiatan Pembelajaran berlangsung. Dengan adanya masalah yang terjadi pada tindakan awal, maka kami bersama pengamat merefleksikan masalah tersebut agar mampu diperbaiki pada tindakan awal dengan harapan semua siswa mampu meningkatkan hasil belajarnya.

Partisipasi siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang dalam kegiatan belajar mengajar Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini terlihat dari hasil belajar siswa pada tindakan awal. Hasil belajar siswa pada tindakan awal dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT dari 35 siswa terdapat 15 siswa atau 42,9% yang tuntas dan yang tidak tuntas ada 20 Siswa atau 57,1% yang tidak tuntas. Data dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

            Tabel.5 hasil ulangan harian kondisi awal

No.

Nama Siswa

 

Budaya Demokrasi

kondisi awal

Tuntas

Tidak Tuntas

1

Agustina E.I

70

V

 

2

Alan Nuari Daak

60

 

V

3

Amelia Nazemi

65

 

V

4

Andricka Hinrayani

70

V

 

5

Anjuani

60

 

V

6

Bedsciana Oldams

65

 

V

7

Debora Vrikanela

65

 

V

8

Devita Sari

84

V

 

9

Eriko Pratama

60

 

V

10

Gustinawati

70

V

 

11

Helen Novri Yanti

65

 

V

12

Hendri Yamo

65

 

V

13

Jaya Satria

84

V

 

14

Kacici

60

 

V

15

Lili Fatmawati

84

V

 

16

Mahdalena

60

 

V

17

Margareta Rahuni

70

V

 

18

Najah

60

 

V

19

Nia Fransiska

65

 

V

20

Nona Kretiana

70

V

 

21

Nopiasari

65

 

V

22

nur Afni octaviani

80

V

 

23

Nurul Nawang Sari

65

 

V

24

Pangki Oriani Saputra

65

 

V

25

Petriyani

65

 

V

26

Pino Adam Saputra

70

V

 

27

Pipi Andriani

65

 

V

28

Rari Marliani

78

V

 

29

Reflee Leona Shandra

60

 

V

30

Rima Melati

65

 

V

31

Seni

88

V

 

32

Siti Kamaliah Noor

65

 

V

33

Tantiana

60

 

V

34

Ventiana

65

 

V

35

Winey Daya K

70

V

 

Jumlah

2378

 

 

Rata- Rata

67,9

 

 

Klasikal

42,9%

 

 

 

    1. Refleksi

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar pada materi Budaya Demokrasi dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT ternyata hasil yang didapat nilai rata-rata sebesar 67,9 dan ketuntasan klasikal sebesar 42,9%. Hal ini masih jauh dari harapan. Oleh karena itu refleksi yang dikemukakan akan difokuskan pada peningkatan hasil belajar siswa pada materi Budaya Demokrasi.

Pada kondisi awal terdapat kekurangan pemahaman siswa pada materi bahan Budaya Demokrasi. Menurut pengamat, ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, siswa tidak fokus pada pengisian LKS sehingga ada bagian tertentu dari isi LKS yang tidak terisi dengan sempurna. Kedua, siswa banyak melakukan hal–hal di luar konteks pembelajaran,  seperti bermain dengan teman sekolompoknya. Ketiga, diantara satu atau dua kelompok tidak mampu menjawab dengan baik pertanyaan yang diberikan guru pada saat evaluasi di akhir pelajaran.

           Dari temuan kekurangan tersebut maka peneliti membuat strategi baru untuk mengurangi penyebab kekurangan pemahaman siswa tersebut di atas, selanjutnyaakan diterapkan pada siklus I. Untuk masalah yang pertama peneliti menugaskan tiga orang siswa pada setiap kelompok untuk menulis hasil kegiatan agar semua LKS terisi semua. Dengan cara demikian maka data yang terkumpul menjadi lengkap sehingga siswa lebih memahami materi pengelompokan baru, agar mengurangi siswa yang saling bermain dengan temannya. Sedangkan masalah yang ketiga, peneliti memberikan penjelasan lebih detail tentang materi Budaya Demokrasi khususnya untuk pertanyaan yang sulit atau tidak mampu dijawab oleh kelompok dalam diskusi. Disamping itu untuk masalah yang ketiga ini penjelasannya dibantu oleh pengamat.

 

4.1.2 Deskripsi hasil siklus 1

         1. Perencanaan

Pada tahap perencanaan guru mempersiapkan tindakan berupa rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan Metode Pembelajaran Tipe TGT dengan materi Budaya Demokrasi sub (2) Masyarakat Madani. Disamping itu guru juga membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) dan menyusun lembar observasi aktifitas guru dan siswa. Selanjutnya, guru membuat tes hasil belajar. Sebelum pelaksanaan tindakan dilakukan di kelas, guru dan observer mendiskusikan lembar observasi.

    1. Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan siklus I dilaksanakan pada hari Selasa 13 Oktober 2015 dari pukul 07.00 s.d 08.30 WIB. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan terdiri dari tiga tahap yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Waktu yang dialokasikan untuk kegiatan pendahuluan adalah 10 menit, sedangkan alokasi waktu untuk kegiatan inti adalah 60 menit dan alokasi kegiatan penutup sebesar 20 menit.

Pada kegiatan pendahuluan, guru melakukan tiga kegiatan, yaitu (1) menyapa dan mengecek kehadiran siswa, (2) melakukan icebreaking berupa menyanyi, (3) menggali pengetahuan siswa dan mengaitkan dengan materi pelajaran yang akan diajarkan selanjutnya. Kegiatan icebreaking yang dilakukan guru.

 Melalui kegiatan inti mendesain kegiatan agar siswa dapat mengalami proses menemukan, menamai dan mempresentasikan. Untuk dapat menemukan berkaitan dengan TGT, pertama-tama guru membagi siswa dalam 7 kelompok dan setiapkelompok terdiri dari 4-6 orang siswa.

Guru menjelaskan terlebih dahulu tentang tugas siswa, sebelum penugasan dilakukan sehingga siswa tidak menjadi bingung. Selain itu, selama diskusi berlangsung guru berkeliling kelompok untuk mengawasi siswa bekerja sambil sesekali mengomentari hasil kerja siswa. Perwakilan setiap kelompok kemudian membacakan hasil diskusi kelompok. Siswa dari kelompok lain akan ditanyakan pendapatnya terkait jawaban kelompok yang sedang presentasi. Jika terdapat kekeliruan, guru terlebih dahulu meminta sesama siswa yang melakukan perbaikan.Siswa yang hasil temuan kelompok yang benar dan mempresentasikan dengan bagus mendapatkan pujian dari guru sedangkan siswa yang belum melakukan dengan maksimal dimotivasi dan diberi penguatan.

Kegiatan akhir siklus I antara lain: (1) melakukan evaluasi untuk mengetahui pencapaian siswa setelah dilaksanakan pembelajaran dengan strategi TGT, (2) siswa melakukan kilas balik tentang pembelajaran yang baru dilakukan dan (3) siswa dan guru merayakan keberhasilan belajar dengan bertepuk tangan gembira.

    1. Observasi
      1. Hasil Belajar Siswa

Partisipasi siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang ada peningkatan dalam Kegiatan Pembelajaran pada siklus 1 setelah dilakukan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar dan respons siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran meskipun masih ada sebagain kecil masalah yang muncul pada saat proses Kegiatan Pembelajaran berlangsung. Dengan adanya masalah yang terjadi pada siklus I, maka kami bersama pengamat merefleksikan masalah tersebut agar mampu diperbaiki pada siklus II dengan harapan semua siswa mampu meningkatkan hasil belajarnya.

Partisipasi siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang dalam kegiatan belajar mengajar Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini terlihat dari hasil belajar siswa pada siklus I. Hasil belajar siswa pada siklus I dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT ada sejulah 35 siswa terdapat 30 siswa atau 85,7% yang tuntas dan yang tidak tuntas ada  Siswa atau 14,3% yang tidak tuntas. Data dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

            Tabel.6 hasil ulangan harian siklus I

No.

Nama Siswa

 

Budaya Demokrasi

Siklus I

Tuntas

Tidak Tuntas

1

Agustina E.I

90

V

V

2

Alan Nuari Daak

65

 

V

3

Amelia Nazemi

80

V

 

4

Andricka Hinrayani

90

V

 

5

Anjuani

65

 

V

6

Bedsciana Oldams

80

V

 

7

Debora Vrikanela

80

V

 

8

Devita Sari

100

V

 

9

Eriko Pratama

65

 

V

10

Gustinawati

100

V

 

11

Helen Novri Yanti

80

V

 

12

Hendri Yamo

80

V

 

13

Jaya Satria

90

V

 

14

Kacici

65

 

V

15

Lili Fatmawati

100

V

 

16

Mahdalena

65

 

V

17

Margareta Rahuni

80

V

 

18

Najah

70

V

V

19

Nia Fransiska

80

V

 

20

Nona Kretiana

80

V

 

21

Nopiasari

80

V

 

22

nur Afni octaviani

100

V

 

23

Nurul Nawang Sari

80

V

 

24

Pangki Oriani Saputra

90

V

 

25

Petriyani

80

V

 

26

Pino Adam Saputra

80

V

 

27

Pipi Andriani

80

V

V

28

Rari Marliani

100

V

 

29

Reflee Leona Shandra

70

V

 

30

Rima Melati

70

V

 

31

Seni

100

V

 

32

Siti Kamaliah Noor

70

V

 

33

Tantiana

70

V

 

34

Ventiana

70

V

 

35

Winey Daya K

90

V

 

Jumlah

2835

 

 

Rata- Rata

81,0

 

 

Ketuntasan Klasikal

85,7%

 

 

 

      1. Aktifitas Siswa

Hasil penelitian pengamat terhadap aktivitas siswa selama kegiatan belajar yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT pada materi pelajaran Budaya Demokrasi pada siklus 1 adalah rata–rata 3,04 berarti termasuk kategori baik. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.

Untuk mengetahui respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang mereka jalani dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT digunakan angket yang diberikan kepada siswa setelah seluruh proses pembelajaran selesai. Hasil angket respons siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe TGT, ditunjukan pada Tabel 5 di bawah ini yang merupakan rangkuman hasil angket respons siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe TGT, ditunjukan pada tabel 5 di bawah ini yang merupakan rangkuman hasil angket tentang tanggapan 17 siswa teerhadap model pembelajaran kooperatif tipe TGT yang diterapkan selama kegiatan pembelajaran materi Budaya Demokrasi , siswa secara umum memberikan tanggapan yang positif selama mengikuti kegiatan pembelajaran dengan senang, siswa juga merasa senang dengan LKS yang digunakan, suasana kelas, maupun cara penyajian materi oleh guru, dan model pembelajaran yang baru mereka terima, selama kegiatan pembelajaran berlangsung siswa juga merasa senang karena bisa mmenyatakan pendapat, dan siswa merasa memperoleh manfaat dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT.

Tabel.7 Respons siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe   

             TGT

No.

Uraian

Tanggapan Siswa

Senang

Tidak Senang

F

%

F

%

1.

Bagaimana perasaan kamu selama mengikuti kegiatan pembelajaran ini ?

34

97,1

1

2,9

 

 

Senang

Tidak Senang

 

 

F

%

F

%

2.

Bagaimana perasaan kamu terhadap :

  1. Materi pelajaran
  2. Lembar kerja siswa (LKS)
  3. Suasana Belajar di Kelas
  4. Cara penyajian materi oleh guru

 

35

33

34

35

 

100

94,3

95,4

100

 

0

2

1

0

 

0

5,7

2,9

0

 

 

Sulit

Tidak Sulit

 

 

F

%

F

%

3.

Bagaimana pendapat kamu Mengikuti pembelajaran ini

3

8,6

32

91,4

 

 

Bermanfaat

Tidak

Bermanfaat

 

 

F

%

F

%

4.

Apakah pembelajaran ini bermanfaat bagi kamu ?

35

100

0

0

 

 

Baru

Tidak Baru

 

 

F

%

F

%

5.

Apakah pembelajran ini baru bagi kamu?

35

100

0

0

 

 

Ya

Tidak

 

 

F

%

F

%

6.

Apakah kamu menginginkan pokok bahasan yang lain menggunakan model kooperatif tipe TGT?

34

97,2

1

2,8

Keterangan :

F =Frekuensi respons siswa terhadap pembelajaran  

     kooperatif tipe TGT

                                    N=Jumlah: 35 orang

      1. Aktifitas Guru

Data hasil pengamatan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran kooperatif tipe TGT ditunjukan pada tabel 7, bahwa pengelolaan pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran  kooperatif tipe TGT dalam materi pelajaran Budaya Demokrasi pada siklus I sebesar 2.93 yang berarti termasuk kategori baik. Data dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

 

Tabel.8 Data Peniliaian pengelohan pembelajaran Kooperatif Tipe  

                TGT

No.

Aspek yang diamati

Skor pengamatan

RPP I

Keterangan

1.

2.

3.

4.

Pesiapan

Pelaksanaan

Pengelolaan Kelas

Suasana Kelas

3,0

2,5

2,5

3,0

Baik

Baik

Baik

Baik

Rata – Rata

2,75

Baik

 

Keterangan :

0          -           1,49     =          kurang baik

1,5       -           2,49     =          Cukup

2,5       -           3,49     =          Baik

3,5       -           4,0       =          Sangat Baik

 

    1. Refleksi

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar pada materi Budaya Demokrasi dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Oleh karena itu refleksi yang dikemukakan akan difokuskan pada peningkatan hasil belajar siswa pada materi Budaya Demokrasi.

Pada siklus 1 terdapat kekurangan pemahaman siswa pada materi bahan Budaya Demokrasi. Menurut pengamat, ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, siswa tidak fokus pada pengisian LKS sehingga ada bagian tertentu dari isi LKS yang tidak terisi dengan sempurna. Kedua, siswa banyak melakukan hal–hal di luar konteks pembelajaran,  seperti bermain dengan teman sekolompoknya. Ketiga, diantara satu atau dua kelompok tidak mampu menjawab dengan baik pertanyaan yang diberikan guru pada saat evaluasi di akhir pelajaran.

           Dari temuan kekurangan tersebut maka peneliti membuat strategi baru untuk mengurangi penyebab kekuangan pemahaman siswa tersebut di atas, selanjutnyaakan diterapkan pada siklus II. Untuk masalah yang pertama peneliti menugaskan tiga orang siswa pada setiap kelompok untuk menulis hasil kegiatan agar semua LKS terisi semua. Dengan carademikian maka data yang terkumpul menjadi lengkap sehingga siswa lebih memahami materi pengelompokan baru, agar mengurangi siswa yang saling bermain dengan temannya. Sedangkan masalah yang ketiga, peneliti memberikan penjelasan lebih detail tentang materi Budaya Demokrasi khususnya untuk pertanyaan yang sulit atau tidak mampu dijawab oleh kelompok dalam diskusi. Disamping itu untuk masalah yang ketiga ini penjelasannya dibantu oleh pengamat.

 

3. Deskripsi data siklus II

         1. Perencanaan

Pada tahap perencanaan guru mempersiapkan tindakan berupa rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang sesuai dengan Metode Pembelajaran Tipe TGT dengan memperbaiki kekurangan pada siklus I pada materi Budaya Demokrasi sub (3) Demokrasi di Indonesia (4) Perilaku yang Mendukung Tegaknya Prinsip-prinsip Demokrasi. Disamping itu guru juga membuat Lembar Kerja Siswa (LKS) dan menyusun lembar observasi aktifitas guru dan siswa. Selanjutnya, guru membuat tes hasil belajar.Sebelum pelaksanaan tindakan dilakukan di kelas, guru dan observer mendiskusikan lembar observasi.

        2. Pelaksanaan

Pelaksanaan tindakan siklus II dilaksanakan pada hari Selasa 6 Oktober 2015 dari pukul 07.00 s.d 08.30 WIB.Kegiatan pembelajaran yang dilakukan terdiri dari tiga tahap yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup.Waktu yang dialokasikan untuk kegiatan pendahuluan adalah 10 menit, sedangkan alokasi waktu untuk kegiatan inti adalah 60 menit dan alokasi kegiatan  penutup sebesar 20 menit.

Pada kegiatan pendahuluan, guru melakukan tiga kegiatan, yaitu (1) menyapa dan mengecek kehadiran siswa, (2) melakukan icebreaking berupa menyanyi, (3)menggali pengetahuan siswa dan mengaitkan dengan materi pelajaran yang akan diajarkan selanjutnya. Kegiatan icebreaking yang dilakukan guru.

 Melalui kegiatan inti mendesain kegiatan agar siswa dapat mengalami proses menemukan, menamai dan mempresentasikan. Untuk dapat menemukan berkaitan dengan TGT, pertama-tama guru membagi siswa dalam 7 kelompok dan setiap kelompok terdiri dari 4-6 orang siswa.

Guru menjelaskan terlebih dahulu tentang tugas siswa, sebelum penugasan dilakukan sehingga siswa tidak menjadi bingung. Selain itu, selama diskusi berlangsung guru berkeliling kelompok untuk mengawasi siswa bekerja sambil sesekali mengomentari hasil kerja siswa.Perwakilan setiap kelompok kemudian membacakan hasil diskusi kelompok. Siswa dari kelompok lain akan ditanyakan pendapatnya terkait jawaban kelompok yang sedang presentasi. Jika terdapat kekeliruan, guru terlebih dahulu meminta sesama siswa yang melakukan perbaikan.Siswa yang hasil temuan kelompok yang benar dan mempresentasikan dengan bagus mendapatkan pujian dari guru sedangkan siswa yang belum melakukan dengan maksimal dimotivasi dan diberi penguatan.

Kegiatan akhir siklus II antara lain: (1)melakukan evaluasi untuk mengetahui pencapaian siswa setelah dilaksanakan pembelajaran dengan strategi TGT, (2) siswa melakukan kilas balik tentang pembelajaran yang baru dilakukan dan (3)siswa dan guru merayakan keberhasilan belajar dengan bertepuk tangan gembira.

          1. Observasi
  1. Hasil Belajar Siswa

Partisipasi siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang ada peningkatan dalam Kegiatan Pembelajaran pada siklus II setelah dilakukan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Hal ini dapat dilihat dari hasil belajar dan respons siswa terhadap Kegiatan Pembelajaran meskipun masih ada sebagain kecil masalah yang muncul pada saat proses Kegiatan Pembelajaran berlangsung.

Partisipasi siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang dalam kegiatan belajar mengajar Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini terlihat dari hasil belajar siswa pada siklus II. Hasil belajar siswa pada siklus II dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TGT sebanyak 30 siswa atau  85,7% yang tuntas dan yang tidak tuntas ada 5 Siswa atau 14,3% yang tidak tuntas dan nilai rata-rata sebesar 81,0. Data dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

                        Tabel.9 Hasil ulangan harian pada siklus II

No.

Nama Siswa

 

Budaya Demokrasi

Siklus I

Tuntas

Tidak Tuntas

1

Agustina E.I

90

V

 

2

Alan Nuari Daak

65

 

V

3

Amelia Nazemi

80

V

 

4

Andricka Hinrayani

90

V

 

5

Anjuani

65

 

V

6

Bedsciana Oldams

80

V

 

7

Debora Vrikanela

80

V

 

8

Devita Sari

100

V

 

9

Eriko Pratama

65

 

V

10

Gustinawati

100

V

 

11

Helen Novri Yanti

80

V

 

12

Hendri Yamo

80

V

 

13

Jaya Satria

90

V

 

14

Kacici

65

 

V

15

Lili Fatmawati

100

V

 

16

Mahdalena

65

 

V

17

Margareta Rahuni

80

V

 

18

Najah

70

V

 

19

Nia Fransiska

80

V

 

20

Nona Kretiana

80

V

 

21

Nopiasari

80

V

 

22

nur Afni octaviani

100

V

 

23

Nurul Nawang Sari

80

V

 

24

Pangki Oriani S.

90

V

 

25

Petriyani

80

V

 

26

Pino Adam Saputra

80

V

 

27

Pipi Andriani

80

V

 

28

Rari Marliani

100

V

 

29

Reflee Leona S.

70

V

 

30

Rima Melati

70

V

 

31

Seni

100

V

 

32

Siti Kamaliah Noor

70

V

 

33

Tantiana

70

V

 

34

Ventiana

70

V

 

35

Winey Daya K

90

V

 

Jumlah

2835

 

 

Nilai Rata- Rata

81,0

 

 

Ketuntasan Klasikal

85,7%

 

 

 

  1. Aktifitas Siswa

            Hasil penelitian pengamat terhadap aktivitas siswa selama kegiatan belajar yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT pada materi pelajaran Budaya Demokrasi pada siklus 1 adalah rata – rata 3,04 berarti termasuk kategori baik. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran .

Untuk mengetahui respons siswa terhadap kegiatan pembelajaran yang mereka jalani dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT digunakan angket yang diberikan kepada siswa setelah seluruh proses pembelajaran selesai. Hasil angket respons siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe TGT, ditunjukan pada Tabel 9 di bawah ini yang merupakan rangkuman hasil angket respons siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe TGT, ditunjukan pada tabel 9 di bawah ini yang merupakan rangkuman hasil angket tentang tanggapan 17 siswa teerhadap model pembelajaran kooperatif tipe TGT yang diterapkan selama kegiatan pembelajaran materi Budaya Demokrasi, siswa secara umum memberikan tanggapan yang positif selama mengikuti kegiatan pembelajaran dengan senang, siswa juga merasa senang dengan LKS yang digunakan, suasana kelas, maupun cara penyajian materi oleh guru, dan model pembelajaran yang baru mereka terima, selama kegiatan pembelajaran berlangsung siswa juga merasa senang karena bisa mmenyatakan pendapat, dan siswa merasa memperoleh manfaat dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT.

Tabel.10 Respons siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe   

             TGT

No.

Uraian

Tanggapan Siswa

Senang

Tidak Senang

F

%

F

%

1.

Bagaimana perasaan kamu selama mengikuti kegiatan pembelajaran ini ?

35

100

0

0

 

 

Senang

Tidak Senang

 

 

F

%

F

%

2.

Bagaimana perasaan kamu terhadap :

  1. Materi pelajaran
  2. Lembar kerja siswa (LKS)
  3. Suasana Belajar di Kelas
  4. Cara penyajian materi oleh guru

 

35

35

35

35

 

100

100

100

100

 

0

0

0

0

 

0

0

0

 

 

Sulit

Tidak Sulit

 

 

F

%

F

%

3.

Bagaimana pendapat kamu Mengikuti pembelajaran ini

1

2,9

34

97,1

 

 

Bermanfaat

Tidak

Bermanfaat

 

 

F

%

F

%

4.

Apakah pembelajaran ini bermanfaat bagi kamu ?

35

100

0

0

 

 

Baru

Tidak Baru

 

 

F

%

F

%

5.

Apakah pembelajran ini baru bagi kamu?

35

100

0

0

 

 

Ya

Tidak

 

 

F

%

F

%

6.

Apakah kamu menginginkan pokok bahasan yang lain menggunakan model kooperatif tipe TGT?

34

97,1

1

2,9

Keterangan :

              F =Frekuensi respons siswa terhadap pembelajaran kooperatif tipe  

                   TGT

               N = Jumlah: 35 orang

 

  1. Aktifitas Guru

Data hasil pengamatan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan pembelajaran kooperatif tipe TGT ditunjukan pada tabel 10, bahwa pengelolaan pembelajaran dengan penerapan model pembelajaran  kooperatif tipe TGT dalam materi pelajaran Budaya Demokrasi pada siklus I sebesar 2.93 yang berarti termasuk kategori baik. Data dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

 

Tabel 11. Data Peniliaian pengelohan pembelajaran Kooperatif Tipe

             TGT

No.

Aspek yang diamati

Skor pengamatan

RPP II

Keterangan

1.

2.

3.

4.

Pesiapan

Pelaksanaan

Pengelolaan Kelas

Suasana Kelas

3,25

2,75

2,75

3,0

Baik

Baik

Baik

Baik

Rata – Rata

3,125

Baik

 

Keterangan :

0          -           1,49     =          kurang baik

1,5       -           2,49     =          Cukup

2,5       -           3,49     =          Baik

3,5       -           4,0       =          Sangat Baik

 

  1. Refleksi

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan hasil belajar pada materi Budaya Demokrasi dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT. Oleh karena itu refleksi yang dikemukakan akan difokuskan pada peningkatan hasil belajar siswa pada materi Budaya Demokrasi.

Pada siklus 1 terdapat kekurangan pemahaman siswa pada materi bahan Budaya Demokrasi.Menurut pengamat, ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi. Pertama, siswa tidak fokus pada pengisian LKS sehingga ada bagian tertentu dari isi LKS yang tidak terisi dengan sempurna. Kedua, siswa banyak melakukan hal – hal di luar konteks pembelajaran,  seperti bermain dengan teman sekolompoknya. Ketiga, diantara satu atau dua kelompok tidak mampu menjawab dengan baik pertanyaan yang diberikan guru pada saat evaluasi di akhir pelajaran.

Dari temuan kekurangan tersebut maka peneliti membuat strategi baru untuk mengurangi penyebab kekuangan pemahaman siswa tersebut di atas, selanjutnya akan diterapkan pada siklus II. Untuk masalah yang pertama peneliti menugaskan tiga orang siswa pada setiap kelompok untuk menulis hasil kegiatan agar semua LKS terisi semua. Dengan cara demikian maka data yang terkumpul menjadi lengkap sehingga siswa lebih memahami materi pengelompokan baru, agar mengurangi siswa yang saling bermain dengan temannya. Sedangkan masalah yang ketiga, peneliti memberikan penjelasan lebih detail tentang materi Budaya Demokrasi khususnya untuk pertanyaan yang sulit atau tidak mampu dijawab oleh kelompok dalam diskusi.Disamping itu untuk masalah yang ketiga ini penjelasannya dibantu oleh pengamat.

 

 

 

B. Pembahasan

1. Hasil Belajar

Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil belajar evaluasi kondisi awal siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang untuk materi bahan makanan dengan model pembellajaran, kooperatif tipe TGT diperoleh nilai rata–rata kondisi awal sebesar 67,9 dengan nilai tertinggi adalah 88 terdapat 1 orang dan nilai terendah adalah 60 terdapat 7 orang dengan ketentusan belajar 42,9% dan yang tidak tuntas 57,1%.

Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil belajar siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang pada siklus 1 untuk materi bahan makanan dengan model pembelajaran, kooperatif tipe TGT diperoleh nilai rata–rata siklus 1 sebesar 72,1 dengan nilai tertinggi adalah 100 terdapat 1 orang dan nilai terendah adalah 60 terdapat 6 orang dengan ketentusan belajar 71,4% dan yang tidak tuntas 28,6%.

Sedangkan pada siklus II untuk materi Mengenal Nama-nama Rasul yang menerima Kitab Allah diperoleh nilai rata–rata siklus II sebesar 81 dengan nilai tertinggi adalah 100 terdapat 6 orang dan nilai terendah adalah 60 terdapat 5 orang dengan ketuntasan belajar 85,7% dan yang tidak tuntas 14,3%. Siswa yang tidak tuntas baik pada siklus I maupun pada siklus II adalah siswa yang sama, ini disebabkan siswa tersebut pada dasarnya tidak ada niat untuk belajar dan sering tidak masuk sekolah.

Berdasarkan data hasil belajar siswa dari siklus I dan siklus II menunjukan adanya peningkatan hasil belajar siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang tahun pelajaran 2015/2016 menunjukan peningkatan hasil belajar siswa pada materi yang sama yaitu Budaya Demokrasi. Hal ini disebabkan pada siklus I dan siklus II 2015/2016 Sudah menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT.

2.  Aktivitas Siswa

Aktivitas siswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung yang menerapkan model pembelajaran tipe TGT pada materi Budaya Demokrasi menurut penilaian pengamat termasuk kategori baik semua aspek aktivitas siswa. Adapun aktivitas siswa yang dinilai oleh pengamat adalah aspek aktivitas siswa:  mendengar dan memperhatikan penjelasan guru, kerja sama dalam kelommpok, bekerja dengan menggunakan alat peraga, keaktifan siswa dalam diskusi, memperesentasikan hasil diskusi, menyimpulkan materi, dan kemampuan siswa menjawab pertanyaan dari guru.

Berdasarkan hasil penilaian yang telah dilakukan aktivitas siswa yang paling dominan dilakukan yaitu bekerja sama mengerjakan LKS dan berdiskusi. Hal ini menunjukan bahwa siswa saling bekerja sama dan bertanggung jawab untuk mendapatkan hasil yang baik. Hal ini sesuai dengan pendapat santoso (dalam anam, 2010:40) yang menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif mendorong siswa dalam kelompok belajar, bekerja dan bertanggung jawab dengan sungguh–sungguh sampai selesainya tugas– tugas individu dan kelompok.

3. Pengelolaan Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT

        Kemampuan guru dalam pengelolaan model pembelajaran kooperatif tipe TGT menurut hasil penilaian pengamat termasuk kategori baik untuk semua aspek. Berarti secara keseluruhan guru telah memiliki kemampuan yang baik dalam mengelola model  pembelajaran kooperatif tipe TGT pada materi Budaya Demokrasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibrahim (2000), bahwa guru berperan penting dalam mengelola kegiatan mengajar, yang berarti guru harus kreatif dan inovatif dalam merancang suatu kegiatan pembelajaran di kelas, sehingga minat dan motivasi siswa dalam belajar dapat ditingkatkan. Pendapat lain yang mendukung adalah piter (dalam Nur dan Wikandari 1998). Kemampuan seorang guru sangat penting dalam pengelolaan pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran dapat berlangsung efektif dan efisien.

4.Respons siswa Terhadap model pembelajaran kooperatif tipe TGT

        Berdasarkan hasil angket respons siswa terhadap model pembelajran kooperatif tipe TGT yang diterapkan oleh peneliti menunjukan bahwa siswa merasa senang terhadap materi pelajaran. LKS, suasana belajar dan cara penyajian materi oleh guru. Menurut siswa, dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT mereka lebih mudah memahami materi pelajaran interaksi antara guru dengan siswa dan interaksi antar siswa tercipta semakin baik dengan adanya diskusi, sedangkan ketidak senangan siswa teerhadap model pembelajran kooperatif tipe TGT disebabkan suasana belajar dikelas yang agak ribut.

        Seluruh siswa (100%) berpendapat baru mengikuti pembelajran dengan model kooperatif tipe TGT.Siswa merasa senang apalagi pokok bahasan selanjutnya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, dan siswa merasa bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TGT bermanfaat bagi mereka, karena mereka dapat saling bertukar pikiran dan materi pelajaraan yang didapat mudah diingat. Hal ini sesuai dengan pendapat rejeki (2000) yang mengatakan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan tindakan pemecahan yang dilakukan karena dapat meningkatkan kemajuan belajar sikap siswa yang lebih positif, menambah motivasi dan percaya diri sera menambah rasa senang siswa terhadap pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

                 Berdasarkan hasil penelitian dengan menerapkan model pembelajaran kooperatiftipe TGT, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Pembelajaran Kooperatif tipe TGT dapat meningkatkan hasil belajar pada Materi Budaya Demokrasi Siswa Kelas X SMKN 2 Tamiang Layang.

5.2 Saran

Berdasarkan pengalaman dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT, maka peneliti dapat memberikan saran–saran, yaitu:

  1. Kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan yang mengalami kesulitan yang dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT sebagai solusinya.
  2. Kepada guru–guru yang ingin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TGT disarankan untuk membentuk kelompok–kelompok baru jika banyak siswa yang bermain pada saat belajar.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1997.Strategi Belajar Mengajar. Bandung: Pustaka Setia

Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi

               Aksara

Depdiknas. 2003.UU RI No.20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional.

                   Jakarta: Depdiknas

--------------. 2004. Standar Kompetensi Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas

--------------.2005. PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

                   Jakarta: Depdiknas

-------------. 2007. Permendiknas RI No. 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses.

                  Jakarta: Depdiknas

-------------. 1999. Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang  

                  Pendidikan. Jakarta: Depdikbud

Ibrahim, M. 2005. Pembelajaran Kooperatif. UNESA: University Press.

Hulu, yuprieli. Dkk. 2011. Suluh siswa 1: Berkarya dalam Kristus. Jakarta: BPK

                Gunung Mulia.

Kemdiknas.2011.Membimbing Guru dalam Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta:

               Kemdiknas

-------------. 2011. Paikem Pembelajaran Aktif Inovatif   

                Kreatif Efektif dan Menyenangkan.  Jakarta: Kemdiknas

Ngalim, Purwanto.  2008.  Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung:PT

               Remaja Rosda Karya

Ngalim, Purwanto.  2003.  Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.

              Bandung:PT Remaja Rosda Karya

Sudjana, Nana. 1989. Tujuan Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta

Suyatno. 2009. Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT. Surakarta: Tiga

              Serangkai




Write a Facebook Comment

Komentar dari Facebook